Pesantren sebagai “Agent of Change”
Pesantren adalah sebuah komunitas peradaban dan sering dipandang sebelah
mata karena lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan
duniawiyah. Pesantren menjadi tempat untuk pembinaan moral-spiritual kesalehan
seseorang dan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Sering pula dicerca sebagai
pusat kehidupan fatalis , karena memproduksi kehidupan zuhud yang mengabaikan
dunia materi. Padahal yang dilakukan oleh orang pesantren itu merupakan sebuah
kesederhanaan dan kesahajaan dalam menaungi sebuah kehidupan di dunia dan
berusaha ”menabung” untuk menggapai akhiratnya.
Dan sekarang sebuah anggapan itu sudah agak bergeser. Alumni-alumni
pesantren sudah biasa “beradaptasi” dengan dunia luar, mulai berkecimpung di
dunia pendidikan, politik, social-budaya, kewirausahaan dan lain sebagainya.
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat
strategis, apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum
(pendidikan formal). Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan
kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk
meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam
menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan terutama di
bidang ekonomi maupun social-budaya, dan perlu juga memperhatikan gerakan
pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan modernisasi yang berlangsung
demikian kuatnya saat ini.
Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak
mungkin bisa dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat
pesantren harus siap menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara
terbuka dan secara kritis. Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada
jiwa masyarakatnya serta dasar-dasar keagamaan dan tradisi menjadikan pesantren
memiliki kekuatan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar.
Pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap
intervensi budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan
masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan
membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya.
Interaksi social-budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di
sekitarnya itu terlihat dalam hal keagamaan, pendidikan, kegiatan social dan
perekonomian.
Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya.
Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagaian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.
Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya.
Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagaian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.
Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat,
maka perlunya langkah-langkah khusus dilakukan lembaga tertentu dalam
memproduksi santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus
modernisasi dan masalah social-budaya.
Tantangan Zaman: Sumber Daya Manusia dan Perekonomian Masyarakat
Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.
Tantangan Zaman: Sumber Daya Manusia dan Perekonomian Masyarakat
Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.
SDM yang berkualitas dan tangguh mampu mengantisipasi perubahan-perubahan
yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan
sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi,
perubahan sosial budaya termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai
agama serta perkembangan modernisasi dan teknologi tentunya. Dalam hal ini
pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berpengaruh peningkatan kualitas SDM.
Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada
pembentukan kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada perimbangan antara
keduniawian dan keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren harus dapat turut
mewujudkan manusia yang IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal
dan juga manusia modern peka terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai
dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish sholih wal akhdu bi jadidil ashlah”
(memelihara perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik).
Peningkatan SDM merupakan tuntutan yang wajib dilakukan oleh umta manusia.
Di dalam islam pun sudah ada dalilnya yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib
bagi setiap orang islam laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai
kapanpun dalam mengikuti perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus
diikuti pula kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan
untuk bersaing dapat dilaksanakan oleh pesantren. Dan penguasaan ilmu
pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan budaya modern dan
sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos
keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan
membuka diri kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.
Kemudian masalah perekonomian menjadi langkah penting bagi pesantren dalam
mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat
dituntut untuk berkompetisi hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era
globalisasi telah meruntuhkan kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi
monopoli pelaku pasar yang sudah meguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka
pemberdayaan masyarakat melalui kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu
digerakkan. Pesantren diharapkan mampu menjadi ”pioner perubahan” itu yang
kemudian membentuk sebuah gerakan yang praksis di masyarakat. Dalam pengembangan
ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan meliputi:
manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik untuk
perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi
pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan
lingkaran ekonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.
Dan ada beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni:
keilmuan, jiwa kewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.
Keilmuan, dalam hal ini keilmuan
agama dan pengetahuan umum seperti yang telah disampaikan tadi. Ajaran agama
merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh dalam menjalankan
ajaran agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati diri manusia.
Serta pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan zaman terus
meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang
menjadi kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan hidup secara
serasi dalam kemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.
Jiwa Kewirausahaan, etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah membangun wirausaha bangsa kita
sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat
menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing baik di pasar
internasional apalagi di pasar lokal itu sendiri.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi
lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya
yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau
dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.
Etos Kerja dan kemandirian, dalam kenyataan, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya
membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk
kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus
menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi
tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan
dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut
seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat keras
dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi tertentu
agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya
pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat
yang makin sarat dengan persaingan.
Dengan demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi
segala tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian,
memiliki budaya kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa
yang terbaik bagi dirinya.
Masyarakat saat ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau
dalil-dalil yang menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis
atas segala permasalahan yang ada. Era keterbukaan dan persaingan bebas sudah
dengan cepatnya masuk ke dalam lapisan masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri
untuk ”memberdayakan” masyarakat maka akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman
itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan pengorganisiran masyarakatlah yang
sanggup membentengi diri dari itu semua, dan pesantren juga sebagai salah satu
harapan masyarakat untuk ikut andil di dalamnya.
Jadi perlunya ”Tri Dharma Pesantren” yakni: pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat. Hal ini sebagai langkah integrasi-nya pesantren dalam
memerankan fungsinya di masyarakat luas. Sehingga pesantren tidak hanya
melahirkan agamawan saja, tetapi juga agamawan yang ”luwes” -inklusif,
mempunyai jiwa sosial-kemasyarakatan serta kepribadian mandiri dan
intrepreneurship.
No comments:
Post a Comment