Saturday, 14 September 2013

HAKIKAT MANUSIA



KESADARAN DIRI
Didalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al Qur’an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu, tetapi muncul ketika manusia dihadapkan pada persoalan untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja. “Aku” yang kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak : “Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak bereksistensi?”
Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ke-Tuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah dengan pernyataan ulama populer “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?” (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata “eksistensi” berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah ke-Tuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap “pusat” atau “sentral” dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae :

“Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah ke pusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam semesta”
Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar sekali. Al Qur’an menyebutkan dalam Surat Adz Dzaariyaat ayat 21: 
“Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada memperhatikan” (QS 51:21)
Juga dalam surat Al Hijr ayat 28-29 :

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS 15:28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat “manusia” adalah makhluk yang selalu membuat keonaran dan pertumpahan darah (QS 2:30). Tidak kalah sengitnya setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu terheran-heran : rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.
Kelembutan ilahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat, “Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui ” (QS :2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat “dua tangan-Ku”. Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat Ilahi.
Penjelasan di atas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai “khalifah” (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan Ilahi (QS 15:28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri.
Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku-buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu an nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr atau alam malakut adalah realitas di luar jangkauan indra dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, obyek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataannya tidak demikian, argumen bersifat keagamaan ini bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037 M) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan, bahwa diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan adalah makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain mampu bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan, juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan mempunyai pilihan untuk berbuat atau untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya, sehingga ia berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu “kesadaran” yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan prof. As Shabuny mengenai surat Al Qiyaamah ayat 14:

“akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)”(QS 75:14).
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah “Aku”.
Wujud “Aku” yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang “Aku” ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran di sini tidak melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan di sini tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran di sini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang “Aku” (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi. Begitupun kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan konteks “ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan kesyirikan sedikitpun” (QS 39:11&14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di bulan Ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur’an, bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak Allah seperti pada surat Ar Ruum ayat 30 :

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS 30:30)
Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia tampak begitu jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik di dalam badan maupun di luar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara’. Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al Hijr di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat Ali ‘Imraan ayat 169 :

“Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan” (QS 3:169).
“Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku” (QS 17:85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan mencapai hakikat “diri” serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.
Periode pertengahan kejayaaan Islam di jawa, berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan tetapi bila kita lihat dengan jernih, ajaran yang disampaikan oleh beliau tetap memurnikan ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur’an sebagai “bashirah” (Aku yang mengetahui).


BismIlahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang).
Melebu Allah..metu Allah (masuknya nafas karena Allah…keluarnya nafas karena Allah).
Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah).
Utek dunungno kodrate Allah (otak diletakkan atas kodrat Allah).
Ya Hu … Allah Ya Hu … Allah Ya Hu … Allah (ya hu … Allah ya hu … Allah ya hu … Allah).
Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu rasullullah).
Artinya : (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa kecuali (totalitas). Yang mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah). Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu Rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika menyikapi dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur’an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.

Kesadaran Universal
Menghayati mulai dari kesadaran fisik sampai kepada kesadaran transendental dimana kesejatian manusia adalah sesuatu yang bukan fisik. Dengan kesejatian inilah manusia menunaikan baktinya kepada Allah sebagaimana fitrahnya (QS 30:30).
Al Qur’an telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Namun ungkapan ini tidak akan menjadi suatu kesadaran apabila fikiran dan perasaan jiwa kita tidak pernah dibawa ke alamnya secara nyata, bukan teori tasawuf yang sulit dimengerti. Kesadaran dimulai dengan yang sangat sederhana.
Adalah seorang bayi yang tiba-tiba lahir dengan proses alami. Ia lahir bukan karena permintaan dan kehendaknya. Ia tidak mengerti untuk apa dilahirkan. Ia tidak punya apa-apa bahkan telanjang serta malupun tidak punya. Kemudian sekelilingnya memberikan kesadaran secara bertahap. Mulai dari pemberian nama dan identitas kelamin, dan batasan kesadaran yang sangat sempit. Ia dikenalkan dengan dirinya bahwa namanya si Anu dan jenis kelaminnya laki-laki. Diajarkannya pula nama-nama anggota tubuhnya, ini telinga, ini kepala, ini tangan, dan seterusnya.
Kesadaran ini membuat terikat kepada sebatas apa yang ia terima (ketahui). Sehingga sang diri terbelenggu dan tersesat dalam ketidaktahuan siapa yang sebenarnya diri ini. Ada ungkapan rasullullah “barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan menjadi hambanya”.
Pakaian atau dodot dalam tembang ilir-ilir sunan Ampel adalah sesuatu yang menimbulkan ikatan pada jiwa seseorang. Dalam filsafat perenial, pakaian adalah sesuatu yang binding (mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang “binding” dengan dunia sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kebebasannya (kesadarannya) terbelenggu. Oleh karena itu manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha melakukan “unbinding” terhadap dunia sekitarnya. Maksudnya manusia harus mulai menyadari keterbatasan dirinya yang selama ini dijerumuskan oleh pengetahuan yang didapatnya, bahwa diri ini hanya terbatas pada mata, telinga, kaki serta anggauta tubuh yang kelihatan. Namun hal ini mustahil kalau saya ungkap secara detail dalam tulisan ini, sebab kesadaran ini harus dilakukan dengan latihan dan pengisian ilmu pengetahuan tentang diri secara imanen transendental (pengalaman langsung).
Mari kita perhatikan tentang apa sebenarnya tubuh ini. Hirupan nafas masuk ke tubuh, lalu sekaligus mengeluarkan zat residu berupa asam arang. Sekadar bayangan kesadaran tentang diri agaknya hal-hal di bawah ini akan menolong kita. Ibaratnya keadaan itu bisa diserupakan dengan penerangan sebuah kota, yang dialirkan oleh sentral listriknya. Perbandingan ini menjadi semakin tajam apabila disadari dengan ilmu bahwa apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita pandang (sadari) bentuk tubuh manusia adalah terbatas pada garis nyata. Sehingga kenyataan ini membuat orang tertipu oleh pengetahuan yang ia miliki. Padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa baik manusia, logam, tumbuhan dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari suatu untaian kejadian-kejadian atau proses. Dimana segala alam lahir ini tersusun oleh senyawa-senyawa kimiawi yang dinamai zarrah (atom).
Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir adalah satu unit tenaga listrik, yang energi positifnya (proton) berjumlah sebanyak energi negatifnya (elektron). Di dalam atom ini, terus-menerus setiap detik terjadi loncatan dan pancaran (charge and spark). Itulah semburan-semburan yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Semburan atau loncatan yang tidak putus-putus dengan kecepatan yang sangat luar biasa ini tidak mampu dilihat dengan mata biasa, kecuali dengan kesadaran ilmu yang cukup. Sebagaimana Al Qur’an mengungkapkan tentang gunung yang dianggap oleh orang awam seperti diam tak bergerak :

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan” (QS 27:88).
Bagi orang awam sebuah gunung atau pegunungan memang tampaknya kokoh berdiri di tempatnya masing-masing. Jadi kalau benda-benda termasuk manusia yang dalam surat Al Hijr ayat 28-29 diciptakan dari esensi alam. Maka benarlah apa yang kita namai benda adalah sebuah bongkahan besar “runtutan peristiwa” loncatan listrik. Maka disini sama sekali tidak dijumpai lagi suatu yang padat atau baku (tetap). Bahan yang dipakai untuk pembentukan alam dan manusia bukanlah benda atau zat-zat akan tetapi ialah “aksi” yaitu aliran berangkai dari peristiwa-peristiwa. Tidaklah mengherankan bahwa dari bahan-bahan yang sangat labil ini terbentuklah alam yang selalu berubah-ubah, menjelma dari bentuk ke bentuk mengikuti suatu proses evolusi.
Sampai disini kesadaran kita sampai kepada tahapan yang agak abstrak, dimana penglihatan kita malah seakan-akan kehilangan penglihatan dimana bentuk tubuh yang selama ini kita sadari. Jelas hal ini membigungkan kesadaran yang telah lama terpatri.
Namun kita telah mencoba melakukan pembangkitan kesadaran yang lebih luas. Yaitu kesadaran dimana tubuh bukanlah apa yang kita lihat seperti ini. Tubuh adalah susunan inti materi yang setiap saat berubah dan berganti. Terbatasnya kesadaran bahwa badan bukan lagi sekedar tangan, kaki, dan kepala. Akan tetapi berubah meluas menjadi kesadaran universal, yaitu kesadaran yang tidak ada batas. Pada tingkat kesadaran ini kita agak bingung, yang mana sebenarnya wujud ini sebenarnya. Karena setelah ditelusuri secara rinci, bahwa badan yang tadinya disadari sebagai sosok laki-laki atau wanita yang punya rupa cantik dan gagah. Pelan-pelan terhapus oleh kesadaran yang lebih luas, yaitu kesadaran jagat raya atau disebut kesadaran makrokosmos. Bahwa wujud badan ini tidak lagi sesempit dulu, aku tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki saja. Akan tetapi badanku adalah angin yang bergerak, atom-atom yang bertebaran serta bergantian saling tukar dengan benda-benda yang lain, badanku adalah butiran-butiran zarrah yang saling mengikat, ya….. aku saling ikat dengan tumbuhan, binatang, bumi serta dengan angkasa yang maha luas. Badanku adalah jagad raya. Dimana kesadaran sudah berubah luas dan menjadi satu kesatuan dengan lingkugan kita. Kesadaran ini akan memudahkan mengidentifikasikan siapa diri sebenarnya. Setelah tahu esensi badan ini. Yaitu kesadaran hakiki yang menggerakkan dan mengatur alam semesta. Dikatakan dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 12 :

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan perintah-Nya. Sesungguhnya dalam gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah -(atau tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mempergunakan akal” (QS 16:12).
Sebenarnya di dalam ayat ini tercantum juga ungkapan bahwa Allah menundukkan dan mengatur kelakuan matahari, bintang dan bulan dengan perintah-Nya. Peraturan inilah yang diikuti oleh seluruh alam semesta (makrokosmos), bagaimana ia harus bertingkah laku. Ia juga disebut hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam. Lebih jelas lagi bila kita baca ayat 11 surat Fushilat :

“Kemudian Dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi : “Silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati atau dengan terpaksa”. Jawab mereka : “Kami mengikuti dengan suka hati”. (QS 41:11)
Ayat ini membuktikan bahwa alam taat mengikuti segala perintah dan peraturan sang pencipta. Dan peraturan yang telah ditetapkan Allah itu tidak berubah selamanya, seperti yang telah ditegaskan dalam ayat 23 surat Al Fath :

“Sebagai sunatullah (atau peraturan Allah) yang telah berlaku sejak dahulu, sekali-kali kamu tak akan menemukan perubahan bagi sunatullah (atau hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah) itu” (QS 48:23).
Apabila zat-zat, tubuh manusia dan benda-benda dalam alam sudah dipahami sebagai rangkaian kejadian-kejadian, serta menurut kemauan sunatullah. Maka sebenarnya atom-atom atau zarrah bergerak bukan atas kemauannya sendiri, akan tetapi ada sosok yang bukan dirinya. Dimana atom-atom itu bergerak mengikuti kekuatan yang maha besar. Benda-benda kecil itu hanya patuh terhadap yang tidak bisa diperbandingkan dengan sesuatu. Wujud itu begitu absolut, benda-benda ini ternyata mati. Akan tetapi ia bergerak dan dihidupkan oleh suatu kuasa yang maha besar. Itulah metakosmos yang hidup, yang perkasa, yang meliputi segala benda, ialah Rabbul alamin…..
Pada kesadaran ini sebaiknya kita berhenti sejenak dan jangan dipahami dengan pemikiran yang berlarut-larut. Biarkan Allah yang akan menuntun hati dan pengetahuan tentang ilmu selanjutnya dengan tetap mematuhkan jiwa dan tubuh kita kehadirat Allah yang Maha Suci. Apabila kita meluruskan pandangan jiwa dan tubuh kita terhadap perintah-perintah-Nya (Ad dien) serta menundukkan dan memasrahkan segala ketaatan. Tubuh ini akan taat seperti taatnya alam semesta tanpa kita rekayasa, ia akan hidup seperti hidupnya alam, serta ia akan teratur seperti teraturnya matahari serta planet-planet yang tidak berbenturan. Ia akan patuh seperti patuhnya malaikat. Demikianlah justru menurut pikiran logis, bahwa adanya diri (mikrokosmos), dan alam semesta (makrokosmos), telah mengajak kesadaran untuk sampai kepada pembuktian adanya Allah yang maha ghaib (metakosmos).
Pada pembahasan kali ini, mungkin ada hal-hal yang menyulitkan pembaca memahami hakikat diri. Untuk itu maka selanjutnya penulis akan mengajak para pembaca masuk ke dalam dunia yang lebih kongkrit, yaitu bagaimana melakukan dan memasuki dunia rohani dengan benar. Pada bab-bab berikutnya akan saya untai praktek-prakteknya dan pembaca bisa mengikuti dengan seksama.

No comments:

Post a Comment