A.
Keluarga dan Peranannya dalam Pembentukan Kepribadian Anak
Pengertian keluarga berarti nuclear family yaitu yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah tetapi bahu
membahu dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi
tugas sebagai pendidik. Tiap eksponen mempunyai fungsi tertentu. Dalam mencapai
tujuan keluarga tergantung dari kesediaan individu menolong mencapai tujuan
bersama dan bila tercapai maka semua anggota mengenyam “apakah peranan
masing-masing”
Peranan ayah :
Peranan ayah :
1.
Sumber kekuasaan, dasar identifikasi.
2.
Penghubung dengan dunia luar.
3.
Pelindung terhadap ancaman dari luar.
4.
Pendidik segi rasional.
Peranan
Ibu :
1.
Pemberi aman dan sumber kasih sayang.
2.
Tempat mencurahkan isi hati.
3.
Pengatur kehidupan rumah tangga.
4.
Pembimbing kehidupan rumah tangga.
5.
Pendidik segi emosional.
6.
Penyimpan tradisi.
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa keluarga pada hakekatnya
merupakan wadah pembentukan masing-masing anggotanya, terutama anak-anak yang
masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orang tuanya. Dasar pemikiran dan
pertimbangannya adalah sebagai berikut :
1.
Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang anak, sejak saat
kelahirannya sampai proses perkembangan jasmani dan rohani berikutnya. Bagi
seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang vital bagi kelangsungan
hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya.
2.
Untuk mencapai perkembangannya seorang anak membutuhkan kasih
sayang, perhatian dan rasa aman untuk berlindung dari orang tuanya. Tanpa
sentuhan manusiawi itu anak akan merasa terancam dan penuh rasa takut.
3.
Keluarga merupakan dunia keakraban seorang anak. Sebab dalam
keluargalah dia mengalami pertama-tama mengalami hubungan dengan manusia dan
memperoleh representasi dari dunia sekelilingnya. Pengalaman hubungan dengan
keluarga semakin diperkuat dalam proses pertumbuhan sehingga melalui pengalaman
makin mengakrabkan seorang anak dengan lingkungan keluarga. Keluarga menjadi
dunia dalam batin anak dan keluarga bukan menjadi suatu realitas diluar seorang
anak akan tetapi menjadi bagian kehidupan pribadinya sendiri. Anak akan
menemukan arti dan fungsinya.
4.
Dalam keluarga seorang dipertalikan dengan hubungan batin yang satu
dengan lainnya. Hubungan itu tidak tergantikan Arti seorang ibu tidak dapat
dengan tiba-tiba digantikan dengan orang lain.
5.
Keluarga dibutuhkan seorang anak untuk mendorong, menggali,
mempelajari dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, norma-norma
dan sebagainya. Nilai-nilai luhur tersebut dibutuhkan sesuai dengan martabat
kemanusiaannya dalam penyempumaan diri.
6.
Pengenalan di dalam keluarga memungkinkan seorang anak untuk
mengenal dunia sekelilingnya jauh lebih baik. Hubungan diluar keluarga
dimungkinkan efektifitasnya karena pengalamannya dalam keluarga.
7.
Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan untuk hidup bermasyarakat
dan bernegara agar mampu berdedikasi dalam tugas dan kewajiban dan tanggung
jawabnya sehingga keluarga menjadi tempat pembentukan otonom diri yang memiliki
prinsip-prinsip kehidupan tanpa mudah dibelokkan oleh arus godaan.
8.
Keluarga menjadi fungsi terpercaya untuk saling membagikan beban
masalah, mendiskusikan pokok-pokok masalah, mematangkan segi emosional,
mendapatkan dukungan spritual dan sebagainya.
9.
Dalam keluarga dapat terealisasi makna kebersamaan, solidaritas,
cinta kasih, pengertian, rasa hormat menghormati clan rasa merniliki.
10.
Keluarga menjadi pengayoman dalam beristirahat, berekreasi,
menyalurkan kreatifitas dan sebagainya. Pengalaman dalam interaksi sosial pada
keluarga akan turut menentukan pola tingkah lakunya terhadap orang lain dalam
pergaulan diluar keluarganya. Bila interksi sosial didalarn kelompok karena
beberapa sebab tidak lancar kemungkinan besar interaksi sosialnya dengan
masyarakat pada umumnya juga akan berlangsung dengan tidak wajar.
Keluarga mempunyai peranan dalam proses sosialisasi. Demikian pentingnya peranan keluarga maka disebutkan bahwa kondisi yang menyebabkan peran keluarga dalam proses sosialisasi anak adalah sebagai berikut :
Keluarga mempunyai peranan dalam proses sosialisasi. Demikian pentingnya peranan keluarga maka disebutkan bahwa kondisi yang menyebabkan peran keluarga dalam proses sosialisasi anak adalah sebagai berikut :
a.
Keluarga merupakan kelompok terkecil yang anggotanya berinteraksi
to face secara tetap, dalam kelompok demikian perkembangan anak dapat diikuti
dengan sesama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan
sosial lebih mudah terjadi.
b.
Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena
anak merupakan cinta kasih hubungan suami istri. Motivasi yang kuat melahirkan
hubungan emosional antara orangtua dan anak.
c.
Karena hubungan sosial dalam keluarga itu bersifat relatif tetap
maka orangtua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi
anak.
B.
Kenakalan Remaja dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari
bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik
pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent
berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya.
Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan
anakanak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu
pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima
sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003).
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman.
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman.
Sarwono
(2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan
remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan
remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan
tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan
baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah
umur 17 tahun.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja adalah seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja adalah seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) lebih rinci
dijelaskan sebagai berikut :
1.
Identitas
Menurut
teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996)
masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas
harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua
bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:
a. terbentuknya
perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
b. tercapainya
identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai,
kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.
Erikson
percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja
untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran
identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa
kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial
yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi
tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan
identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian
dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu
upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
2.
Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak
gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang
lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan
antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat
diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka
mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara
keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan
perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang
dilakukan baru-baru ini Santrock (1996) menunjukkan bahwa ternyata
kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh
orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat
pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh
anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal
akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
3.
Usia
Munculnya
tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius
nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku
seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian
dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa,
mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya.
Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai
23 tahun.
4.
Jenis kelamin
Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial
daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya
jumlah remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang
diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
5.
Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan
yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak
begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap
sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset
yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005) mengenai pengaruh
orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik
siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor yang
berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap
sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan
prestasi akademik.
6.
Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan
remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua
terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya
kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam
Santrock, 1996) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai
terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak
sesua i merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya
kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga
juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu
timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
7.
Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan
risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996)
terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di
Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang
memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
8.
Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari
kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal
di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki
banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan
kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan
ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa
mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan
anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi
bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering
ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil
meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
9.
Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan
remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja
mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil
atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering
ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas
menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang
terorganisir adalah faktor- faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan
dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang
paling berperan menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah
faktor keluarga yang kurang harmonis dan faktor lingkungan terutama teman
sebaya yang kurang baik, karena pada masa ini remaja mulai bergerak
meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma
yang ditanamkan oleh kelompok lebih menentukan perilaku remaja dibandingkan
dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.
C.
Pengaruh Keluarga terhadap Kenakalan Remaja
Pengaruh keluarga yang bisa menyebabkan kenakalan remaja adalah
1.
Keluarga yang Broken Home
Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat
kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa
peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya.
Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya,
remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat
dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah disebutkan
diatas bahwa fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa
aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi
fungsi tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan
yang memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik
internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan
yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya.
masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan
masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak. Keluarga merupakan
dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga menjadi bagian yang vital
dari kehidupannya.
Penyebab timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
Penyebab timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
2.
Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri
yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang
telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan
keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri
tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak
sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu
menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh
ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing
merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.
3.
Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog
antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut
justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin.
Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi
diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan
yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan
menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua
tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu
bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja;
anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri.
Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu
mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan
yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam
masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri
sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya
anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya.
Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil
belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan
kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan
anak ke dalam sekumpulan benda mati.
4.
Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada
kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog
juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak.
Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan
pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan
kehendaknya sendiri.
5.
Pendidikan yang salah
a.
Sikap memanjakan anak
Keluarga mempunyai peranan di dalam pertumbuhan dan perkembangan
pribadi seorang anak. Sebab keluarga merupakan lingkungan pertama dari tempat
kehadirannya dan mempunyai fungsi untuk menerima, merawat dan mendidik seorang
anak. Jelaslah keluarga menjadi tempat pendidikan pertama yang dibutuhkan
seorang anak. Dan cara bagaimana pendidikan itu diberikan akan menentukan.
Sebab pendidikan itu pula pada prinsipnya adalah untuk meletakkan dasar dan
arah bagi seorang anak. Pendidikan yang baik akan mengembangkan kedewasaan
pribadi anak tersebut. Anak itu menjadi seorang yang mandiri, penuh tangung
jawab terhadap tugas dan kewajibannya, menghormati sesama manusia dan hidup
sesuai martabat dan citranya. Sebaliknya pendidikan yang salah dapat membawa
akibat yang tidak baik bagi perkembangan pribadi anak.
Salah satu pendidikan yang salah adalah memanjakan anak. Keadilan
orang tua yang tidak merata terhadap anak dapat berupa perbedaan dalam
pemberian fasilitas terhadap anak maupun perbedaan kasih sayang. Bagi anak yang
merasa diperlakukan tidak adil dapat menyebabkan kekecewaan anak pada orang
taunya dan akan merasa iri hati dengan saudara kandungnya. Dalam hubungan ini
biasanya anak melakukan protes terhadap orang tuanya yang diwujudkan dalam
berbagai bentuk kenakalan.
b.
Anak tidak diberikan pendidikan agama
Hal ini dapat
terjadi bila orang tua tidak meberikan pendidikan agama atau mencarikan guru
agama di rumah atau orang tua mau memberikan pendidikan agama dan mencarikan
guru agama tetapi anak tidak mau mengikuti. Bagi anak yang tidak dapat
mengikuti pendidikan agama akan cenderung untuk tidak mematuhi ajaran-ajaran
agama. Seseorang yang tidak patuh pada ajaran agama mudah terjerumus pada
perbuatan keji dan mungkar jika ada faktor yang mempengaruhi seperti perbuatan
kenakalan remaja.
c.
Anak yang ditolak
Penolakan anak
biasanya dilakukan oleh suami istri yang kurang dewasa secara psikis. Misalkan
mereka mengharapkan lahirnya anak laki-laki tetapi memperoleh anak perempuan.
Sering pula disebabkan oleh rasa tidak senang dengan anak pungut atau anak dari
saudara yang menumpang di rumah mereka. Faktor lain karena anaknya lahir dengan
keadaan cacat sehingga dihinggapi rasa malu. Anak-anak yang ditolak akan merasa
diabaikan, terhina dan malu sehingga mereka mudah sekali mengembangkan pola
penyesalan, kebencian, dan agresif.
Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil dua sikap bicara yaitu:
Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil dua sikap bicara yaitu:
1.
Sikap atau cara yang bersifat preventif
Yaitu
perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si
anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam
hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan atau
mengadakan tindakan sebagai berikut :
a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.
Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:
a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.
c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.
Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:
a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.
c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
2. Sikap atau cara yang bersifat represif
Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam
kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak
seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam
diskusi yang khusus mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak
orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil
sikap sebagai berikut :
a.
Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah
diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.
b.
Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan
yang menimpa anaknya.
c.
Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam
mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d.
Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
No comments:
Post a Comment