a. Pengertian
Pemberdayaan Masyarakat.
Pemberdayaan
berasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang secara harfiah bisa
diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan
“kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang tidak beruntung.
Menurut
Sunyoto Usman, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha
memperkuat apa yang lazim disebut community self-reliance atau
kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis
masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif masalah
tersebut,serta di perlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources
yang dimiliki dan dikuasai. Dalam proses itu masyarakat dibantu bagaimana
merancang sebuah kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, bagaimana
mengimplementasikan rancangan tersebut, serta bagaimana membangun strategi
memperoleh sumber-sumber eksternal yang dibutuhkan sehingga memperoleh hasil
optimal.[1]
Secara
konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain
memberdayakan dan memampukan masyarakat.[2]
Robinson
menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial, suatu
pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” yang
berarti memberi daya, memberi “power” kepada pihak yang kurang berdaya.
Orang-orang
yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan
merupakan keharusan untuk lebih di berdayakan melalui usaha mereka sendiri dan
akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai
tujuan tanpa tergantung pada pertolonan dari hubungan eksternal.
Pranarka
dan Vidhyandika menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua
kecendrungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagai kekuatan, kekuasaana atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya. Kedua, proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog.
b. Ciri-Ciri
Masyarakat Berdaya.
Sumardjo
menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
1. Mampu
memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi
perubahan kedepan).
2. Mampu
mengarahkan dirinya sendiri.
3. Memiliki
kekuatan untuk berunding.
4. Memiliki
bargaining power yang memadai dalam melakukan kerja sama yang saling
menguntungkan.
5. Bertanggungjawab
atas tindakannya.
Selamet menjelaskan lebih rinci
bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu,
mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi,
mampu bekerja sama, tahu berbagi alternativ, mampu mengambil keputusan, berani
mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak
sesuai dengan situasi.
Proses pemberdayaan yang melahirkan
masyarakat yang memiliki sifat seperti yang di harapkan harus dilakukan secara
berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara
bertanggung jawab.[3]
c. Strategi
Pemberdayaan
Person
et.al. menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif.
Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan
terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam
setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan
rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama
pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan
melalui kolektivitas.
Dalam
konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan tiga matra pemberdayaan:
mikro, mezzo, makro.
1. Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien
secara individu melalui bimbingan. Tujuan utamanya adalah membimbing atau
melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
2. Mezzo. Pemberdayaan di lakukan terhadap
sekelompok klien. Pemberdayaan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya di gnakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan
sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapinya.
3. Makro.
Pendekatan ini jug disebut sebagai strategi sistem besar, karena sasaran
perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan
kebijakan, perencanaan sosial, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik,
adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang
klien sebagai orang yang memiliki kopetensi untuk memahami situasi-situasi
mereka sendiri, dan untuk memilih serta mnentukan strategi yang tepat untuk
bertindak.[4]
Dalam
teori sosial, pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong
anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama
mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Masyarakat
dapat diartikan dalam dua konsep.
1) Masyarakat
sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebagai sebuah wilayah geografi yang sama.
2) Masyarakat
sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan
dan identitas.[5]
d. Macam-Macam
Pemberdayaan.
Ada
tiga macam pemberdayaan yang harus di perjuangkan dalam konteks keumatan masa
kini. Yakni pemberdayaan dalam tataran ruhaniah, intlektual, dan ekonomi.[6]
1. Pemberdayaan
pada mata ruhaniah, dalam pandangan Agus Efendi, degradasi moral atau
pergeseran nilai masyarakat islam saat ini sangat mengguncang kesadaran islam.
Keperibadian kaum muslim terutama mayoritas generasi mudanya begitu telanjang
terkooptasi oleh budaya negativ barat yang merupakan antitesadari nilai-nilai
Islam, hal ini diperparah dengan gagalnya pendidikan agama di hampir semua lini
pendidikan.
2. Pemberdayaan
intelektual. Dengan sangat telanjang dapat dirasakan betapa umat Islam yang ada
di Indinesia bahkan dimanapun sudah terlalu tertinggal dalam kemajuan dan
penguasaan teknologi. Untuk itu diperlukan berbagai upaya pemberdayaan
intelektualsebagai sebuah perjuangan besar.
3. Pemberdayaan
ekonomi. Masalah kemiskinan menjadi demikian identik dengan masyarakat Islam
Indonesia. Pemecahannya adalah tanggung jawab masyarakat sendiri yang selama
ini selalu terpinggirkan.
e. Pemberdayaan
dalam Islam
Pada
dasarnya Islam adalah agama pemberdayaan. Dalam pandangn Islam, pemberdayaan
merupakan gerakan tanpa henti. Hal ini sejalan dengan paradigma Islam sendiri
sebagai agama perubahan.[7]
Dalam
konteks Indonesia, masyarakat Islam sebagai penghuni mayoritas bangsa masih
terlalu jauh dari segala keunggulan bila dibandingkan dengan sesama umat
manusia dari Negara-negara lain. Fakta ini menuntut adanya pemberdayaan yang
sistematis dan terus-menerus untuk melahirkan masyarakat yang berkualitas.
Situasi
ekonomi masyarakat Islam Indonesia bukan untuk di ratapi, melainkan untuk
dicarikan jalan pemecahannya. Untuk keluar dari himpitan ekonomi ini, diperlukan perjuangan
besar dan gigih dari setiap komponen umat. Setiap pribadi muslim di tantang
untuk lebih keras dalam bekerja, berkreasi, dan berwirausaha, lebih-lebih dalam
bekerja sama, komunikatif dalam berinteraksi, lebih skillful dalam memfasilitasi
jaringan kerja, dan lebih profesional dalam mengelola potensi-potensi dan
kekuatan-kekuatan rill ekonomi umat, Untuk bisa keluar dari himpitan ekonomi
seperti sekarang ini. Di samping penguasaan terhadap life skill atau
keahlian hidup, keterampilan berwirausaha, dibutuhkan juga pengembangan dan
pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang selama ini tidak pernah dilirik.
Dengan
demikian, pengembangan atau pemberdayaan masyarakat Islam merupakan model
empiris pengembangan perilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh,
dengan titik tekan pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Sasaran
individual yaitu setiap individu muslim, dengan orientasi sumber daya manusia.
Sedangkan sasaran komunal adalah kelompok atau komunitas muslim, dengan
orientasi pengembangan sistem masyarakat. Dan sasaran institusional adalah
organisasi Islam dan pranata sosial kehidupan, dengan orientasi pengembangan
kualitas dan islamitas kelembagaan.
f. Tujuan
dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Jamasy
mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggung jawab utama dalam pembangunan
melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya,
kekuatan atau kemampuan, kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik,
material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen
bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Terkait
dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani menjelaskan bahwa tujuan yang ingin
dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan
masyarakat menjadi mandiri.
Kemandirian
tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang
mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami
oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang
dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimilikinya.[8]
[1]Abu Huraerah, Pengorganisasian Dan Pengembangan Masyarakat
(Bandung:Humaniora,2008), h.87.
[2]Murdi Yatmo Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Bidang Ekonomi
Tinjaun Teoritik dan Implementasi (Tesis, Universitas Indonesia,
Jakarta,2001), h.10.
[3]Mahrup, Problematika DakwahTuan Guru Dalam Upaya Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Aik Mual Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah (Skripsi:
IAIN Mataram, 2009), h. 20.
[4]Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat,(Bandung:
PT Refika Aditama, 2009),h. 66-67.
[5]Abd. Muin, M. Dkk, Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren
(Jakarta: CV Prasasti, 2007 ), h. 28.
[6]Nanih Machendrawaty, Pengembangan Masyarakat Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya,2001), h. 44.
[8]Edi Suharto, Membangun Masyarakat, h. 21.
No comments:
Post a Comment