MAKNA ‘IDUL ADHA dan BERKURBAN
‘Idul Adha memiliki makna yang
penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu
kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ‘Idul Adha
tersebut :
1. Menyadari kembali bahwa makhluk yang
namanya manusia ini adalah kecil belaka,
betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan
takbir : Allahu akbar !
2. Menyadari kembali bahwa tiada yang boleh di-Tuhankan selain Allah.
Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman
jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh (individu),
lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya, menjadi
presiden/wakil presiden, atau ketua lembaga perwakilan rakyat. Orang sekarang
juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik adalah segala-galanya
dan ekonomi adalah tujuan hidupnya yang sejati. Bahkan HAM (Hak Asasi Manusia)
menjadi acuan utama segala gerak kehidupan , sementara HAT (Hak Asasi Tuhan)
diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid : La ilaha illallah !
3. Menyadari kembali bahwa pada
hakikatnya yang memiliki puja dan puji
itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yang gila puja dan puji,
sehingga kepalanya cepat membesar, dadanya melebar, dan hidungnya bengah, bila
dipuji orang lain. Namun segera naik pitam, wajah merah, dan jantung berdetak
melambung, bila ada orang yang mencela ,mengkritik, dan mengoreksinya. Inilah
makna kita kumandangkan tahmid : Wa lillahil-hamd !
4. Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau
bepergian, yang suatu saat rindu untuk pulang ke tempat tinggal asal, yakni
tempat yang mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia, Ka’bah, Baitullah.
Inilah salah satu makna bagi yang istita’ah (berkemampuan) tidak menunda-nunda
lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada
hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia
dari bangsa apapun adalah saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi, bila
seseorang itu kafir adalah bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu
yang sama. Maka orang yang pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah
bagi warga sekitarnya, tidak membesar-besarkan perbedaan yang dimiliki sesama
muslim, terutama dalam hal yang disebut furu’iyah.
5. Menyadari kembali bahwa segala nikmat yang diberikan Allah pada
hakikatnaya adalah sebagai cobaan atau ujian. Apabila nikmat itu diminta
kembali oleh yang memberi , maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini
jadi konglomerat, esok bisa jadi melarat dengan hutang bertumpuk jadi karat.
Sekarang berkuasa, lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi
kepala kantor dengan mobil Timor, entah kapan, mungkin bisa jadi bahan humor
karena naik sepeda bocor. Sedang nikmat yang berupa harta, hendaknya kita
ikhlas untuk berinfaq di jalan Allah, seperti untuk ber-udhiyah (berqurban).
6. Percayalah, dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah, niscaya
Allah akan membalasnya dengan berlipat ganda. Tetapi, jika kita justru kikir,
pelit, tamak, bahkan rakus, tunggulah kekurangan, kemiskinan, dan kegelisahan
hati selalu menghimpitnya.
Akhirnya, semoga ‘Idul Adha dengan
berbagai ibadah yang kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali
tidur kita . Kemudian, kita berihtiar lagi sekuat tenaga untuk memperbanyak
amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin !
Berkurban
Pada prinsipnya, berkurban itu hanya
disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah T dan para sahabatnya, mereka berkurban atas nama diri mereka dan
keluarga mereka. Adapun apa yang dikira oleh sebagian orang awam bahwa
berkurban hanya bagi orang yang sudah mati saja, adalah tidak ada dasarnya.
Berkurban atas nama orang yang sudah mati ada tiga macam:
Pertama: Menyembelih kurban atas nama
orang yang sudah mati dengan diikutkan kepada orang yang masih hidup. Seperti:
bila seseorang berkurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, baik yang
masih hidup atau yang sudah mati. Dasarnya: kurban yang dilakukan oleh
Rasulullah T atas nama diri beliau dan ahli baitnya, padahal diantara mereka
ada yang sudah mati.
Kedua: Menyembelih kurban atas nama
orang yang sudah mati, untuk melaksanakan wasiatnya. Dasarnya: “Maka
barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 181)
Ketiga: Menyembelih kurban dan
menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah mati; hal ini boleh. Dan para
fuqaha’ madzhab Hambali telah menegaskan bahwa pahalanya sampai kepada orang
yang sudah mati dan bermanfaat baginya, dikiaskan kepada sedekah untuk orang
yang sudah mati.
Namun, kami tidak berpandangan bahwa
mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah mati termasuk sunnah, karena Nabi
tidak pernah berkurban khusus atas nama orang yang telah mati; tidak pernah
berkurban atas nama paman beliau Hamzah, padahal dia adalah orang yang paling
dihormatinya, tidak pernah pula berkurban atas nama anak-anaknya yang sudah
mati lebih dahulu, dan tidak pernah pula berkurban atas nama istrinya Khadijah,
padahal dia istrinya yang tercinta. Tidak pernah juga diriwayatkan bahwa salah
seorang sahabat, semasa beliau, menyembelih kurban atas nama seseorang dari
kerabatnya yang sudah mati.
Dan kami berpendapat bahwa tidak benar
apa yang dilakukan sebagian orang, yaitu: menyembelih kurban setahun setelah
wafatnya seseorang dengan meyakini bahwa tidak boleh ada orang lain yang
disertakan dalam pahalanya; atau menyembelih binatang sebagai sedekah bagi
orang yang sudah mati, atau berdasarkan wasiatnya, sementara mereka tidak
menyembelih kurban atas nama diri mereka sendiri dan keluarganya. Andaikata
mereka tahu bahwa apabila seseorang menyembelih kurban dari harta kekayaannya
atas nama dirinya sendiri dan juga keluarganya telah mencakup keluarganya yang
hidup maupun yang telah mati, niscaya mereka tidak berpali1ing dari sunnah ini
kepada perbuatan mereka itu.
LARANGAN BAGI ORANG YANG HENDAK
BERKURBAN
Jika seseorang berniat hendak
berkurban dan telah masuk bulan Dzulhijjah, maka dilarang baginya mencabut atau
memotong sesuatu dari rambut, kuku, atau kulitnya sampai dia menyembelih
binatang kurbannya. Karena diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa Nabi telah
bersabda: “Apabila telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan seseorang di
antara kamu hendak berkurban; maka supaya menahan diri terhadap rambut dan
kukunya.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan;
“Maka jangan menyentuh sesuatu dari rambut atau pun kulitnya sehingga ia
menyembelih binatang kurbannya.”
Dan jika berniat menyembelih kurban
di antara sepuluh hari tersebut, hendaklah ia menahan diri dari larangan
tersebut mulai saat berniat. Sedangkan apa yang telah dicabut atau dipotongnya
sebelum itu, maka tidak apa-apa.
Adapun hikmah dalam larangan ini,
bahwa orang yang berkurban karena mengikuti jama’ah haji dalam sebagian amalan
manasik, yaitu bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih kurban maka ia pun
mengikutinya dalam sebagian larangan ihram, yaitu: dengan menahan diri dari
memotong rambut dan lain-lainnya. Karena itu, diperbolehkan bagi keluarga orang
yang hendak menyembelih kurban untuk mencabut atau memotong rambut, kuku dan
kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Hukum ini khusus bagi orang yang
hendak menyembelih kurban saja. Sedang keluarganya atau orang yang menjadi
wakilnya, tidak ada kaitannya dengan larangan ini. Karena Nabi bersabda: “Dan
seseorang diantara kamu hendak berkurban...”, beliau tidak mengatakan: “...
atau orang-orang yang diwakilinya dalam berkurban”; dan karena Nabi ketika
menyembelih kurban atas nama keluarganya tidak disebutkan bahwa beliau menyuruh
mereka juga untuk menahan diri dari larangan tadi.
Apabila orang yang hendak menyembelih
kurban mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku atau kulitnya; maka
hendaklah ia bertaubat kepada Allah l dan tidak mengulanginya lagi. Tidak ada
kafarat (denda) yang harus dibayarnya dan tidak pula menghalanginya untuk
melaksanakan kurbannya, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam.
Kalaupun dia mencabut atau memotong
sesuatu dari hal-hal tersebut karena lupa, atau tidak tahu, atau karena memang
terlepas tanpa sengaja, maka tidak apa-apa. Namun jika memerlukan untuk dicabut
atau dipotong; seperti karena terkoyak kukunya sehingga merasa sakit dan perlu
dipotong, atau rambutnya masuk ke mata dan perlu dicabut, atau rambutnya perlu
dipotong untuk pengobatan luka dan semisalnya; maka dalam keadaan seperti ini
boleh dia melakukannya dan tidak apa-apa.
No comments:
Post a Comment