Saturday 27 September 2014

MAKNA IDUL ADHA dan BERKURBAN



MAKNA ‘IDUL ADHA dan BERKURBAN
‘Idul Adha memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ‘Idul Adha tersebut :
1.      Menyadari kembali bahwa makhluk yang namanya manusia ini adalah kecil belaka, betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir : Allahu akbar !
2.      Menyadari kembali bahwa tiada yang boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh (individu), lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya, menjadi presiden/wakil presiden, atau ketua lembaga perwakilan rakyat. Orang sekarang juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik adalah segala-galanya dan ekonomi adalah tujuan hidupnya yang sejati. Bahkan HAM (Hak Asasi Manusia) menjadi acuan utama segala gerak kehidupan , sementara HAT (Hak Asasi Tuhan) diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid : La ilaha illallah !
3.      Menyadari kembali bahwa pada hakikatnya yang memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yang gila puja dan puji, sehingga kepalanya cepat membesar, dadanya melebar, dan hidungnya bengah, bila dipuji orang lain. Namun segera naik pitam, wajah merah, dan jantung berdetak melambung, bila ada orang yang mencela ,mengkritik, dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid : Wa lillahil-hamd !
4.      Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian, yang suatu saat rindu untuk pulang ke tempat tinggal asal, yakni tempat yang mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia, Ka’bah, Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yang istita’ah (berkemampuan) tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adalah saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi, bila seseorang itu kafir adalah bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yang sama. Maka orang yang pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah bagi warga sekitarnya, tidak membesar-besarkan perbedaan yang dimiliki sesama muslim, terutama dalam hal yang disebut furu’iyah.
5.      Menyadari kembali bahwa segala nikmat yang diberikan Allah pada hakikatnaya adalah sebagai cobaan atau ujian. Apabila nikmat itu diminta kembali oleh yang memberi , maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat, esok bisa jadi melarat dengan hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa, lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dengan mobil Timor, entah kapan, mungkin bisa jadi bahan humor karena naik sepeda bocor. Sedang nikmat yang berupa harta, hendaknya kita ikhlas untuk berinfaq di jalan Allah, seperti untuk ber-udhiyah (berqurban).
6.      Percayalah, dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah, niscaya Allah akan membalasnya dengan berlipat ganda. Tetapi, jika kita justru kikir, pelit, tamak, bahkan rakus, tunggulah kekurangan, kemiskinan, dan kegelisahan hati selalu menghimpitnya.
Akhirnya, semoga ‘Idul Adha dengan berbagai ibadah yang kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali tidur kita . Kemudian, kita berihtiar lagi sekuat tenaga untuk memperbanyak amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin ! 

Berkurban
Pada prinsipnya, berkurban itu hanya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah T dan para sahabatnya, mereka berkurban atas nama diri mereka dan keluarga mereka. Adapun apa yang dikira oleh sebagian orang awam bahwa berkurban hanya bagi orang yang sudah mati saja, adalah tidak ada dasarnya. Berkurban atas nama orang yang sudah mati ada tiga macam:
         Pertama: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati dengan diikutkan kepada orang yang masih hidup. Seperti: bila seseorang berkurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Dasarnya: kurban yang dilakukan oleh Rasulullah T atas nama diri beliau dan ahli baitnya, padahal diantara mereka ada yang sudah mati.

         Kedua: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati, untuk melaksanakan wasiatnya. Dasarnya: “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 181)

         Ketiga: Menyembelih kurban dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah mati; hal ini boleh. Dan para fuqaha’ madzhab Hambali telah menegaskan bahwa pahalanya sampai kepada orang yang sudah mati dan bermanfaat baginya, dikiaskan kepada sedekah untuk orang yang sudah mati.

Namun, kami tidak berpandangan bahwa mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah mati termasuk sunnah, karena Nabi tidak pernah berkurban khusus atas nama orang yang telah mati; tidak pernah berkurban atas nama paman beliau Hamzah, padahal dia adalah orang yang paling dihormatinya, tidak pernah pula berkurban atas nama anak-anaknya yang sudah mati lebih dahulu, dan tidak pernah pula berkurban atas nama istrinya Khadijah, padahal dia istrinya yang tercinta. Tidak pernah juga diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat, semasa beliau, menyembelih kurban atas nama seseorang dari kerabatnya yang sudah mati.

Dan kami berpendapat bahwa tidak benar apa yang dilakukan sebagian orang, yaitu: menyembelih kurban setahun setelah wafatnya seseorang dengan meyakini bahwa tidak boleh ada orang lain yang disertakan dalam pahalanya; atau menyembelih binatang sebagai sedekah bagi orang yang sudah mati, atau berdasarkan wasiatnya, sementara mereka tidak menyembelih kurban atas nama diri mereka sendiri dan keluarganya. Andaikata mereka tahu bahwa apabila seseorang menyembelih kurban dari harta kekayaannya atas nama dirinya sendiri dan juga keluarganya telah mencakup keluarganya yang hidup maupun yang telah mati, niscaya mereka tidak berpali1ing dari sunnah ini kepada perbuatan mereka itu.

LARANGAN BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN

            Jika seseorang berniat hendak berkurban dan telah masuk bulan Dzulhijjah, maka dilarang baginya mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku, atau kulitnya sampai dia menyembelih binatang kurbannya. Karena diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa Nabi telah bersabda: “Apabila telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu hendak berkurban; maka supaya menahan diri terhadap rambut dan kukunya.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim).

            Dalam riwayat lain disebutkan; “Maka jangan menyentuh sesuatu dari rambut atau pun kulitnya sehingga ia menyembelih binatang kurbannya.”

            Dan jika berniat menyembelih kurban di antara sepuluh hari tersebut, hendaklah ia menahan diri dari larangan tersebut mulai saat berniat. Sedangkan apa yang telah dicabut atau dipotongnya sebelum itu, maka tidak apa-apa.

            Adapun hikmah dalam larangan ini, bahwa orang yang berkurban karena mengikuti jama’ah haji dalam sebagian amalan manasik, yaitu bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih kurban maka ia pun mengikutinya dalam sebagian larangan ihram, yaitu: dengan menahan diri dari memotong rambut dan lain-lainnya. Karena itu, diperbolehkan bagi keluarga orang yang hendak menyembelih kurban untuk mencabut atau memotong rambut, kuku dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

            Hukum ini khusus bagi orang yang hendak menyembelih kurban saja. Sedang keluarganya atau orang yang menjadi wakilnya, tidak ada kaitannya dengan larangan ini. Karena Nabi bersabda: “Dan seseorang diantara kamu hendak berkurban...”, beliau tidak mengatakan: “... atau orang-orang yang diwakilinya dalam berkurban”; dan karena Nabi ketika menyembelih kurban atas nama keluarganya tidak disebutkan bahwa beliau menyuruh mereka juga untuk menahan diri dari larangan tadi.

            Apabila orang yang hendak menyembelih kurban mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku atau kulitnya; maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah l dan tidak mengulanginya lagi. Tidak ada kafarat (denda) yang harus dibayarnya dan tidak pula menghalanginya untuk melaksanakan kurbannya, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam.

           Kalaupun dia mencabut atau memotong sesuatu dari hal-hal tersebut karena lupa, atau tidak tahu, atau karena memang terlepas tanpa sengaja, maka tidak apa-apa. Namun jika memerlukan untuk dicabut atau dipotong; seperti karena terkoyak kukunya sehingga merasa sakit dan perlu dipotong, atau rambutnya masuk ke mata dan perlu dicabut, atau rambutnya perlu dipotong untuk pengobatan luka dan semisalnya; maka dalam keadaan seperti ini boleh dia melakukannya dan tidak apa-apa.

 

No comments:

Post a Comment