Thursday 31 July 2014

pengertian ushul fiqih



A.    USHUL FIQIH
1.   Pengerian Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna dari Ushul Fiqih dapat di lihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul  bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “pondasi sesuatu, baik yang bersifat materi atau bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1)      Dalil, landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul fiqih bahwa Ashl dari wajibnya salat lima waktu adalah firman Allah SWT. dan Sunnah Rasul.
2)      Qa’idah, yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi yang artinya: “Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau pondasi).
3)      Rajah, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih yang artinya: “yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4)      Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semuala selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya seorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelun ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5)      Fur’u (cabang), seperti perkataan seorang ushul yang artinya: “anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, I : 5)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang bias digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, yakni dalam surat Thaha (20) : 27-28, An-Nisa (4) :78, Hud (11) : 91. Dan terdapat pula dalam hadits Rasulullah SAW yang artinya: “apabila Allah menginginkan kebaikan pada seseorang, Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya”.
(H.R. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbak, Tirmizi, dan Ibnu Majah).
Adapun pengertian fiqih menerut terminologi pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa Akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminology dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
Fiqih adalah ilmu tentang hukum Syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah himpunan hokum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Definisi pertama menujukan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukun. Sedangkan definisi kedua menunjukan bahwa fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinesikan sebagai hukum dinyatakan secara dreskriptif.
Keterangan diatas menunjukan bahwa objek kajian fiqih adalah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, mandub, makruh dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum tersebut.
Pada umumnya, dalam memberikan definisi fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih adalah hukum syari’at yang diambil dari dalamnya. Namun, menarik untuk diperhatikan adalah pernyataan Imam Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan bahwa fiqih adalah pengetahuan hokum syara’ melalui penalaran (Nadzar dan istidlal). Pengetahuan hokum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi yang bersifat daruri, seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu haram dan sebagainya. Setiap masalah yang qat’I bukan merupakan bahasa fiqih. (Al-Mahalli : 3).
Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan Al-Islami sehingga terangkai Al-fiqh Al-Islami. Dan Al-fiqh Al-Islami sering diterjemahkan dalam hokum Islam. Istilah lain yang digunakan untuk istilah ini adalah Asy-Syari’yah Al-Islamiyah dan Al-Hukm Al-Islami.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka disini dikemukakan pengertian ushul fiqih menurut beberapa ulama yaitu:
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah (juz I :16) Ushul Fiqih adalah “ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Ushul fiqih adalah “himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
Sementara itu, Abu Wahab Khalaf, seorang guru besar hokum di Universitas Kairo Mesir menyatakan bahwa ushul fiqih adalah “ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hokum-hukum syara’ mengenai pearbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hokum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.” (Abdul Wahab Khalaf : 12).
2.      Objek Kajian Ushul Fiqih
Dari definisi Ushul Fiqih diatas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1)            Sumber hokum dan semua seluk beluknya.
2)            Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hokum dari sumbernya.
3)            Persyaratan orang yang berwewenang melakukan Istinbath dengan semua permasalahannya.
Sementara itu, Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian Ushul Fiqih sebagai berikut:
1)            Sumber-sumber hokum syara’, baik tang disepakati seperti Al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti Istihsan dan mashlahah mursalah.
2)            Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3)            Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahair, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (Al-Jam’u’ wa At-taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau dua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
4)            Pembahasan hokum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah), juga dibahas tentang hokum, hakim, mahkum alaih (orang yang dibebani) dan lain-lain.
5)            Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistibath hokum dan cara menggunakannya. (Al-Ghazali : 7, Al-Amidi, I: 9, Asy-Syaukani : 5,
Al-Juhaili : 23).
3.          Perbedaan Ushul Fiqih Dengan Fiqih
Dari keterangan diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa Ushul Fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sedangkan objek fiqihnya selalu perbuatan mukallap yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi menunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.


Sumber: Ilmu Ushul Fiqh

No comments:

Post a Comment