A.
USHUL
FIQIH
1. Pengerian Ushul Fiqih
Untuk
mengetahui makna dari Ushul Fiqih dapat di lihat dari dua aspek: Ushul Fiqih
kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari
aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul
bentuk jamak dari ashl dan
kata fiqih, yang masing-masing
memiliki pengertian yang luas. Ashl
secara etimologi diartikan sebagai “pondasi sesuatu, baik yang bersifat materi
atau bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti berikut
ini:
1) Dalil,
landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul fiqih bahwa Ashl
dari wajibnya salat lima waktu adalah firman Allah SWT. dan Sunnah Rasul.
2)
Qa’idah,
yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi yang artinya: “Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar
atau pondasi).
3)
Rajah,
yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih yang artinya:
“yang terkuat dari (kandungan) suatu
hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari
setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4) Mustashhab, yakni
memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semuala selama tidak ada dalil yang
mengubahnya. Misalnya seorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya
seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan
masih hidup sebelun ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya
seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap
tetap.
5) Fur’u
(cabang), seperti perkataan seorang ushul yang artinya: “anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, I : 5)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang bias digunakan
adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun
fiqh secara etimologi berarti
pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian
tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, yakni dalam surat Thaha (20) : 27-28, An-Nisa (4) :78, Hud (11)
: 91. Dan terdapat pula dalam hadits Rasulullah SAW yang artinya: “apabila Allah menginginkan kebaikan pada
seseorang, Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya”.
(H.R.
Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbak, Tirmizi, dan Ibnu Majah).
Adapun
pengertian fiqih menerut terminologi
pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh
ajaran agama, baik berupa Akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini
berarti fiqih sama dengan pengertian dari syari’ah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat
(mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Untuk
lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminology dapat dikemukakan
pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
Fiqih
adalah ilmu tentang hukum Syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh
dari dalil-dalil yang terperinci.
Sementara
itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah himpunan hokum syara’ tentang
perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Definisi
pertama menujukan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan
hukun. Sedangkan definisi kedua menunjukan bahwa fiqih dipandang sebagai hukum.
Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih
sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara
deskriptif. Manakala didefinesikan sebagai hukum dinyatakan secara dreskriptif.
Keterangan
diatas menunjukan bahwa objek kajian fiqih adalah hukum perbuatan mukallaf,
yakni halal, haram, wajib, mandub, makruh dan mubah beserta dalil-dalil yang
mendasari ketentuan hukum tersebut.
Pada
umumnya, dalam memberikan definisi fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih adalah
hukum syari’at yang diambil dari dalamnya. Namun, menarik untuk diperhatikan
adalah pernyataan Imam Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan bahwa fiqih adalah
pengetahuan hokum syara’ melalui penalaran (Nadzar
dan istidlal). Pengetahuan hokum yang tidak melalui ijtihad (kajian),
tetapi yang bersifat daruri, seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu
haram dan sebagainya. Setiap masalah yang qat’I bukan merupakan bahasa fiqih.
(Al-Mahalli : 3).
Pada
perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan Al-Islami sehingga terangkai Al-fiqh Al-Islami. Dan Al-fiqh Al-Islami sering diterjemahkan
dalam hokum Islam. Istilah lain yang digunakan untuk istilah ini adalah Asy-Syari’yah Al-Islamiyah dan Al-Hukm Al-Islami.
Setelah
dijelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka
disini dikemukakan pengertian ushul fiqih menurut beberapa ulama yaitu:
Menurut
Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah (juz I :16) Ushul Fiqih adalah “ilmu
pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil
tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Sedangkan
menurut pendapat Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar
Universitas Al-Azhar Kairo. Ushul fiqih adalah “himpunan kaidah (norma-norma)
yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
Sementara
itu, Abu Wahab Khalaf, seorang guru besar hokum di Universitas Kairo Mesir
menyatakan bahwa ushul fiqih adalah “ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan
metode penggalian hokum-hukum syara’ mengenai pearbuatan manusia dari
dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian
hokum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.”
(Abdul Wahab Khalaf : 12).
2. Objek Kajian Ushul Fiqih
Dari
definisi Ushul Fiqih diatas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian
Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1)
Sumber hokum dan semua seluk beluknya.
2)
Metode pendayagunaan sumber hukum atau
metode penggalian hokum dari sumbernya.
3)
Persyaratan orang yang berwewenang
melakukan Istinbath dengan semua
permasalahannya.
Sementara itu, Muhammad Al-Juhaili
merinci objek kajian Ushul Fiqih sebagai berikut:
1)
Sumber-sumber hokum syara’, baik tang
disepakati seperti Al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti Istihsan dan mashlahah mursalah.
2)
Pembahasan tentang ijtihad, yakni
syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3)
Mencarikan jalan keluar dari dua dalil
yang bertentangan secara zahair, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan
lain-lain baik dengan jalan pengompromian (Al-Jam’u’
wa At-taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau
dua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
4)
Pembahasan hokum syara’ yang meliputi
syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan,
pilihan atau keringanan (rukhsah), juga dibahas tentang hokum, hakim, mahkum
alaih (orang yang dibebani) dan lain-lain.
5)
Pembahasan kaidah-kaidah yang akan
digunakan dalam mengistibath hokum dan cara menggunakannya. (Al-Ghazali : 7,
Al-Amidi, I: 9, Asy-Syaukani : 5,
Al-Juhaili : 23).
3.
Perbedaan Ushul Fiqih Dengan Fiqih
Dari
keterangan diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa Ushul Fiqih merupakan
timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil hukum,
sedangkan objek fiqihnya selalu perbuatan mukallap yang diberi status hukumnya.
Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun
konsentrasinya berbeda, yaitu Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi menunjukan
atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai
rujukannya.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah,
sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
Sumber: Ilmu Ushul Fiqh